Kamis, 13 Desember 2012

aku tidak memilih



 Aku sebenarnya tidak mengharapkan apapun lagi. Aku tidak menharapkan apapun dan siapapun lagi. Aku hanya perlu menjaga, mensyukuri dan berjuang lagi dengan apapun yang ada di sekitarku. Aku bahagia dengan orang yang menyayangiku. Dan aku tidak mengharapkan perasaan ini.

Namanya Gana. orang yang menemaniku lebih dari kenangan indahku. Dia ada untukku lebih dari saat bahagiaku. Dialah yang membantuku menghadapi diriku sendiri, Melawan semua rasa takut dan keberanianku sendiri. Mendukung dan mengajariku kehidupan, setelah orang tuaku tentunya.

Tapi perasaan ini membuatku seperti tidak mensyukuri keberadaan Gana.....

"Hei! Melamun yaaa? Cieee, ngelamunin aku ya?" 
"Anak ini yaa, melamun itu hak asasi, tau nggak? Pede banget kamu." Gana hanya tertawa menanggapiku.
"Terwakan terus saja, anggap saja aku lelucon.” Aku sedikit merasa tidak suka. Aku berlagak menjauh dan pergi darinya, tapi Gana mengejarku.
“Hei, sudahlah aku hanya bercanda. Ada apa denganmu?” Ups, sepertinya aku sudah berlebihan. Paling tidak, saat ini perasaanku kacau. Aku menghela nafas. “Maafkan aku, tapi aku sedang ingin sendiri. Aku pulang sendiri. Kau pulanglah. Aku masih ada kuliah pagi besok.” Dan aku berjalan meninggalkan Gana.
“Yah sudahlah, Danah, aku tahu. Seperti biasa, hati hati di jalan dan kalau ada apa apa hubungi aku.” Gana pun mulai melangkah pergi tanpa berpaling. Aku hanya tersenyum dan mengangguk kecil.

Itulah Gana, terlalu memahamiku. Hahaha, aku mulai memahami manusia. Saat ada yang benar benar sesuai keinginanmu, kau merasa itu terlalu baik sehingga kau merasa tidak menginginkannya. Tapi saat sebaliknya, kau berlari mengejarnya dan terus menuntut. Dan ini yang terjadi padaku.

Paling tidak aku harus berjalan lima belas menit dari tempatku bertemu dengan Gana, dan ini memberikanku waktu untuk berpikir selama perjalanan. Lima belas menit yang tidak menenangkan.

Tidak lama, aku sudah sampai di rumah, dan aku tidak berhenti berpikir. Apa lagi yang aku inginkan, Gana sudah menjadi sosok yang selama ini diidam-idamkan. Hubungan ini sudah menjadi alur hidupku. Tapi semuanya sudah berubah.
Aku menginginkan yang lain.

Arfan, Arfan, Arfan. Aku mungkin terlalu bodoh untuk mengikuti perasaanku. Kenapa aku harus mengikuti hatiku? Tidakkah aku harus mempertahankan ini dan mengabaikan perasaanku. Tidak ada yang salah dengan Gana, tapi aku terlalu egois untuk mengikuti kata hatiku.

Tapi malam ini aku harus memilih, mengabaikan perasaanku harusnya adalah hal yang mudah. Mudah kalau aku mau dan tidak berpaling menyesali keputusan ini. Aku harus melakukannya. Semuanya sudah aku pertahankan dan berjalan sejauh ini. Dan aku tidak ingin melukai Gana.


Aku yang terakhir keluar dari ruangan, dan aku hanya segera ingin pulang dan beristirahat. Aku terlalu lelah. Tugas yang belakangan ini datang berbondong bondong tidak memberikanku kesempatan bernafas untuk sejenak. Tapi bertemu dengan Gana pun harus aku sempat sempatkan.

“Danah!” aku berbalik dan tidak menemukan siapapun. Aku kembali berjalan tapi ternyata sudah ada Arfan di depanku.
“Apa? Ada apa? Cepatlah! Aku ingin segera pulang.”
“Hey ada apa denganmu? Aku hanya ingin mengatakan sesuatu padamu. Ada yang penting.”
“Apa?”
“Ikut aku sebentar.” Arfan langsung menarik tasku dan membawaku ke taman kampus. Aku sudah sangat pusing sekali.
“Sudah sampai.”
“Lalu apa yang ingin kamu katakan?”
“Ini..” Arfan memberikanku sebuah kertas. Dan dia beranjak pergi.
Tidak ada yang perlu dikatakan bumi kepada langit untuk tetap mengiringinya. Tidak ada yang perlu dikatakan sebuah perasaan kepada hati yang diindahkannya. Hanya kehidupan yang bersedia mengabadikan ini. Tapi sayangnya hidup tidak pernah menjadi abadi. Tapi hati inilah yang setidaknya ada untukmu. Sesudah ini aku harap kamu tidak pernah merubah apapun. Hanya ini yang aku tahu.
Hati ini bersedia menjadi milikmu

Arfan

Hai, aku masih di bumi kan? Tapi? Apa ini? Dan...............................


Aku berbalik untuk melihat responnya, tapi Danah sudah jatuh pingsan. Anak ini pasti kenapa kenapa! Anak ini selalu! Aku langsung menggendongnya ke Ruang Kesehatan. Tapi tidak lama beristirahat dia sudah sadar lagi. Aku tidak khawatir, karena aku ada disini mencoba menjaganya.
“Dan? Udah melek? Udah kemana aja? Hahaha” Aku mencoba menertawakannya, hanya memastikan kesadarannya sudah kembali.
“Apa sih! Orang baru hidup lagi juga udah digodain lagi!”
“Ciyeh udah bisa bangun lagi. Yaudah, ayo aku antar pulang. Dari pada ambruk di jalan!” Dalam hati aku hanya berharap kalau saja dia melupakan isi surat itu.


Aku benci kalau harus diantar pulang seperti ini! Hey aku bukan orang lemah! Yang harus diantar antar seakan akan aku ini anak kecil. Apa salahku? Kalau saja tadi aku tidak pingsan.
“Apa apaan kamu sok nganter aku pulang?”
“Hahaha, iya iya ini terakhir deh.”
“Apaan juga.” Kami terdiam. Aku berpikir untuk mengatakan sesuatu, tapi..
“Apa maksud suratmu itu?” Aku harus meluruskan ini. Masalahnya, baru tadi malam aku memutuskan perasaanku. Sekarang harus goyah karena ada kenyataan baru ini. Kamu memang tidak pernah tidak menyusahkanku, Fan!
“Apa yang kamu tangkap, itu maksudku.”
“Kamu nggak takut salah paham?”
“Nggak aku tau apa yang aku mau.”
“Fan, aku sudah tidak sendiri lagi. Kamu tahu itu dari awal dan sejak dulu. Kamu juga sudah punya Asha. Apa lagi yang kamu mau?”
“Aku tahu kok Dan. Bukan itu yang aku maksud. Aku cuma mau jujur sama perasaan sendiri. Nggak boleh? Sekarang ini, satu satunya harapan yang aku mau cuma kamu. Satu satunya yang bisa buat hari hariku beda ya kamu. Kamu itu, beda. Sekalipun kamu aneh, kayak cowok, kebanyakan tingkah, nggak cewek banget, tapi itu yang bikin aku mau deket sama kamu. Dan kamu satu satunya yang bisa bikin aku nggak tertekan sama keadaan hidupku!”
“Kan ada Asha Fan? Apa? Ada apa sama Asha? Nggak kasihan kamu sama dia?”
“Asha cuman mentingin dirinya sendiri, terus? Buat apa aku ada buat dia? Kalaupun dia nggak ada buat aku?”
“Fan, ini salah Fan. Nggak bisa.”
“Dan, kamu tenang deh. Aku nggak maksa ataupun minta kamu jadi bagian dari hidupku. Tapi sekarangpun sudah cukup.”
“Tapi apa jadinya kalau aku punya perasaan yang sama?”
“Nggak perlu Dan, aku nggak minta apa apa dari kamu.”
“Nggak, pede banget kamu. Ini bukan karena suratmu. Ini yang aku rasain. Hayo? Tanggung jawab.”
“Tapi, masalahnya? Kamu sudah sama Gana..”
“Duh kan! Udah! Nggak tau! Pusing! Udah sampe juga, aku masuk dulu, pulang sana!” Aku berlari masuk dan tidak keluar lagi.

Aku benar benar pusing. Kenapa. Kenapa ini harus datang. Kenapa ini harus ada? Harusnya Arfan tidak perlu berkata apa apa. Tidak ada yang perlu dikatakan. Tidak lama lagi pasti Gana menyadari perubahanku. Terang saja, aku menyadari perubahanku terhadapnya belakangan ini. Apalagi sejak tragedi di taman waktu itu. Aku tidak menghubunginya sama sekali.
Dan sekali itu pikiranku benar. Gana menelponku.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Kamu ada masalah ya? Hayo ngaku?”
“Pede banget kamu? Hahaha. Nggak kok. Jangan sok tau deh.” Aku hanya mencoba untuk tertawa.
“Aku tahu, kamu ada masalah sama Arfan kan?” Deg. Tahu rasanya tiba tiba inget ada yang hilang? Ya itu rasanya.
“Hah? Kata siapa kamu? Nggak ada apa apa tuh. Serius” Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Aku tahu kok. Nggak usah bohong Danah. Aku tahu. Arfan juga sudah mengatakannya padaku. Jadi, aku ingin mengatakan ini.” ingin rasanya saat itu juga aku menangis. Tapi entahlah. Sudah cukup. Aku lupa bagaimana rasanya menangis.
“Danah, pasti selama ini aku memiliki kekurangan dalam mendampingimu. Aku tahu dan sadar itu. Kau tak perlu memaksakan dirimu untuk bertahan denganku. Aku tidak pernah menginginkanmu ada di sampingku kalau kau terpaksa. Aku menghargaimu.” seketika itu juga air mataku tumpah. Akhirnya. Lagi.
“Aku tahu kau pasti menangis sekarang. Keluarlah, aku ada di depan rumahmu.” tidak ada waktu lagi. Aku langsung keluar dan melihatnya di depan. Orang tuaku yang duduk di ruang TV pasti heran melihatku seperti ini. Aku tak sempat melihat mereka. Akan kujelaskan pada mereka ini nanti.
“Anak bodoh, kamu ngapain? Nangis? Cemen ih.” Dia tertawa. Aku hanya sanggup tertawa dalam tangisku. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan. Ini benar benar. Ah, aku tidak tahu.
“Ingatlah, kapanpun dan apapun yang kamu rasakan. Pikirlah dulu baik baik. Bagaimana akibatnya bagi perasaanmu dan hatimu. Bagaimana akibatnya terhadap hidupmu. Jangan pikirkan perasaan siapa siapa.”
“Bagaimana kamu bisa menyuruhku berbuat seegois itu?”
“Karena kamu sudah terlalu lama hidup memikirkan orang lain. Tidak ingat ya? Bagaimana kamu rela tergesa gesa mengerjakan tugasmu yang deadline minus 4 jam? Hanya demi membantu teman kecilmu yang sedang kekusahan? Sekali ini sajalah paling tidak. Pikirkan dirimu sendiri.”
Gana benar, tapi aku tidak bisa bertindak seegois itu. Aku mampu, tapi aku tidak mau.


Hari ini hari wisuda! Bahagianya. Semuanya sudah selesai. Tapi tidak total selesai. Aku harus memulai sesuatu yang baru setelah ini. Tentunya, membaktikan diriku dalam hidup bermasyarakat. Membantu sesama. Melakukan yang aku bisa. Impianku sebagai Dokter akhirnya terwujud juga.
Ayah, Ibu, Adik, semua saudara dan temanku mengucapkan selamat. Aku merasa amat sangat bahagia sekali. Tentu saja, setelah selama ini. Akhirnya...
Ahh, harapan tercapai, tapi ada yang hilang. Aku tidak mendapatkan satupun dari kedua orang ini. Bukan karena mereka yang meninggalkanku. Tapi aku yang memutuskan. Aku memutuskan untuk sendiri dan tidak melukai hati siapapun. Karena aku ingin berdamai. Berdamai dengan semuanya.
Arfan, pada akhirnya kamu juga tidak memilih siapa siapa. Meskipun kamu menungguku, aku tidak bisa memberi harapan. Karena aku masih belum memilih.
Gana, terima kasih atas semua pelajaran hidup dan kesempatan berharga menjadi pendampingmu. Menjadikan sebuah kenangan indah yang tidak berhenti aku syukuri. Pada akhirnya nanti harus ada yang mendampingimu lebih baik dari aku.
Aku tidak menghilang, tapi aku memilih untuk tidak memilih

~ 0 komentar: ~

~ Posting Komentar ~

+

Contact

About the Template

menganggap orang lain sebagai sahabat nggak ada salahnya kok =))