Aku
sebenarnya tidak mengharapkan apapun lagi. Aku tidak menharapkan
apapun dan siapapun lagi. Aku hanya perlu menjaga, mensyukuri dan
berjuang lagi dengan apapun yang ada di sekitarku. Aku bahagia dengan
orang yang menyayangiku. Dan aku tidak mengharapkan perasaan
ini.
Namanya Gana. orang yang menemaniku lebih dari kenangan indahku. Dia ada untukku lebih dari saat bahagiaku. Dialah yang membantuku menghadapi diriku sendiri, Melawan semua rasa takut dan keberanianku sendiri. Mendukung dan mengajariku kehidupan, setelah orang tuaku tentunya.
Tapi perasaan ini membuatku seperti tidak mensyukuri keberadaan Gana.....
"Hei! Melamun yaaa? Cieee, ngelamunin aku ya?"
"Anak ini yaa, melamun itu hak asasi, tau nggak? Pede banget kamu." Gana hanya tertawa menanggapiku.
"Terwakan terus saja, anggap saja aku lelucon.” Aku sedikit merasa tidak suka. Aku berlagak menjauh dan pergi darinya, tapi Gana mengejarku.
Namanya Gana. orang yang menemaniku lebih dari kenangan indahku. Dia ada untukku lebih dari saat bahagiaku. Dialah yang membantuku menghadapi diriku sendiri, Melawan semua rasa takut dan keberanianku sendiri. Mendukung dan mengajariku kehidupan, setelah orang tuaku tentunya.
Tapi perasaan ini membuatku seperti tidak mensyukuri keberadaan Gana.....
"Hei! Melamun yaaa? Cieee, ngelamunin aku ya?"
"Anak ini yaa, melamun itu hak asasi, tau nggak? Pede banget kamu." Gana hanya tertawa menanggapiku.
"Terwakan terus saja, anggap saja aku lelucon.” Aku sedikit merasa tidak suka. Aku berlagak menjauh dan pergi darinya, tapi Gana mengejarku.
“Hei,
sudahlah aku hanya bercanda. Ada apa denganmu?” Ups, sepertinya aku
sudah berlebihan. Paling tidak, saat ini perasaanku kacau. Aku
menghela nafas. “Maafkan aku, tapi aku sedang ingin sendiri. Aku
pulang sendiri. Kau pulanglah. Aku masih ada kuliah pagi besok.”
Dan aku berjalan meninggalkan Gana.
“Yah
sudahlah, Danah, aku tahu. Seperti biasa, hati hati di jalan dan
kalau ada apa apa hubungi aku.” Gana pun mulai melangkah pergi
tanpa berpaling. Aku hanya tersenyum dan mengangguk kecil.
Itulah
Gana, terlalu memahamiku. Hahaha, aku mulai memahami manusia. Saat
ada yang benar benar sesuai keinginanmu, kau merasa itu terlalu baik
sehingga kau merasa tidak menginginkannya. Tapi saat sebaliknya, kau
berlari mengejarnya dan terus menuntut. Dan ini yang terjadi padaku.
Paling
tidak aku harus berjalan lima belas menit dari tempatku bertemu
dengan Gana, dan ini memberikanku waktu untuk berpikir selama
perjalanan. Lima belas menit yang tidak menenangkan.
Tidak
lama, aku sudah sampai di rumah, dan aku tidak berhenti berpikir. Apa
lagi yang aku inginkan, Gana sudah menjadi sosok yang selama ini
diidam-idamkan. Hubungan ini sudah menjadi alur hidupku. Tapi
semuanya sudah berubah.
Aku
menginginkan yang lain.
Arfan,
Arfan, Arfan. Aku mungkin terlalu bodoh untuk mengikuti perasaanku.
Kenapa aku harus mengikuti hatiku? Tidakkah aku harus mempertahankan
ini dan mengabaikan perasaanku. Tidak ada yang salah dengan Gana,
tapi aku terlalu egois untuk mengikuti kata hatiku.
Tapi
malam ini aku harus memilih, mengabaikan perasaanku harusnya adalah
hal yang mudah. Mudah kalau aku mau dan tidak berpaling menyesali
keputusan ini. Aku harus melakukannya. Semuanya sudah aku pertahankan
dan berjalan sejauh ini. Dan aku tidak ingin melukai Gana.
Aku
yang terakhir keluar dari ruangan, dan aku hanya segera ingin pulang
dan beristirahat. Aku terlalu lelah. Tugas yang belakangan ini datang
berbondong bondong tidak memberikanku kesempatan bernafas untuk
sejenak. Tapi bertemu dengan Gana pun harus aku sempat sempatkan.
“Danah!”
aku berbalik dan tidak menemukan siapapun. Aku kembali berjalan tapi
ternyata sudah ada Arfan di depanku.
“Apa?
Ada apa? Cepatlah! Aku ingin segera pulang.”
“Hey
ada apa denganmu? Aku hanya ingin mengatakan sesuatu padamu. Ada yang
penting.”
“Apa?”
“Apa?”
“Ikut
aku sebentar.” Arfan langsung menarik tasku dan membawaku ke taman
kampus. Aku sudah sangat pusing sekali.
“Sudah
sampai.”
“Lalu
apa yang ingin kamu katakan?”
“Ini..”
Arfan memberikanku sebuah kertas. Dan dia beranjak pergi.
Tidak
ada yang perlu dikatakan bumi kepada langit untuk tetap
mengiringinya. Tidak ada yang perlu dikatakan sebuah perasaan kepada
hati yang diindahkannya. Hanya kehidupan yang bersedia mengabadikan
ini. Tapi sayangnya hidup tidak pernah menjadi abadi. Tapi hati
inilah yang setidaknya ada untukmu. Sesudah ini aku harap kamu tidak
pernah merubah apapun. Hanya ini yang aku tahu.
Hati
ini bersedia menjadi milikmu
Arfan
Hai,
aku masih di bumi kan? Tapi? Apa ini?
Dan...............................
Aku
berbalik untuk melihat responnya, tapi Danah sudah jatuh pingsan.
Anak ini pasti kenapa kenapa! Anak ini selalu! Aku langsung
menggendongnya ke Ruang Kesehatan. Tapi tidak lama beristirahat dia
sudah sadar lagi. Aku tidak khawatir, karena aku ada disini mencoba
menjaganya.
“Dan?
Udah melek? Udah kemana aja? Hahaha” Aku mencoba menertawakannya,
hanya memastikan kesadarannya sudah kembali.
“Apa
sih! Orang baru hidup lagi juga udah digodain lagi!”
“Ciyeh
udah bisa bangun lagi. Yaudah, ayo aku antar pulang. Dari pada ambruk
di jalan!” Dalam hati aku hanya berharap kalau saja dia melupakan
isi surat itu.
Aku
benci kalau harus diantar pulang seperti ini! Hey aku bukan orang
lemah! Yang harus diantar antar seakan akan aku ini anak kecil. Apa
salahku? Kalau saja tadi aku tidak pingsan.
“Apa
apaan kamu sok nganter aku pulang?”
“Hahaha,
iya iya ini terakhir deh.”
“Apaan
juga.” Kami terdiam. Aku berpikir untuk mengatakan sesuatu, tapi..
“Apa
maksud suratmu itu?” Aku harus meluruskan ini. Masalahnya, baru
tadi malam aku memutuskan perasaanku. Sekarang harus goyah karena ada
kenyataan baru ini. Kamu memang tidak pernah tidak menyusahkanku,
Fan!
“Apa
yang kamu tangkap, itu maksudku.”
“Kamu
nggak takut salah paham?”
“Nggak
aku tau apa yang aku mau.”
“Fan,
aku sudah tidak sendiri lagi. Kamu tahu itu dari awal dan sejak dulu.
Kamu juga sudah punya Asha. Apa lagi yang kamu mau?”
“Aku
tahu kok Dan. Bukan itu yang aku maksud. Aku cuma mau jujur sama
perasaan sendiri. Nggak boleh? Sekarang ini, satu satunya harapan
yang aku mau cuma kamu. Satu satunya yang bisa buat hari hariku beda
ya kamu. Kamu itu, beda. Sekalipun kamu aneh, kayak cowok, kebanyakan
tingkah, nggak cewek banget, tapi itu yang bikin aku mau deket sama
kamu. Dan kamu satu satunya yang bisa bikin aku nggak tertekan sama
keadaan hidupku!”
“Kan
ada Asha Fan? Apa? Ada apa sama Asha? Nggak kasihan kamu sama dia?”
“Asha
cuman mentingin dirinya sendiri, terus? Buat apa aku ada buat dia?
Kalaupun dia nggak ada buat aku?”
“Fan,
ini salah Fan. Nggak bisa.”
“Dan,
kamu tenang deh. Aku nggak maksa ataupun minta kamu jadi bagian dari
hidupku. Tapi sekarangpun sudah cukup.”
“Tapi
apa jadinya kalau aku punya perasaan yang sama?”
“Nggak
perlu Dan, aku nggak minta apa apa dari kamu.”
“Nggak,
pede banget kamu. Ini bukan karena suratmu. Ini yang aku rasain.
Hayo? Tanggung jawab.”
“Tapi,
masalahnya? Kamu sudah sama Gana..”
“Duh
kan! Udah! Nggak tau! Pusing! Udah sampe juga, aku masuk dulu, pulang
sana!” Aku berlari masuk dan tidak keluar lagi.
Aku
benar benar pusing. Kenapa. Kenapa ini harus datang. Kenapa ini harus
ada? Harusnya Arfan tidak perlu berkata apa apa. Tidak ada yang perlu
dikatakan. Tidak lama lagi pasti Gana menyadari perubahanku. Terang
saja, aku menyadari perubahanku terhadapnya belakangan ini. Apalagi
sejak tragedi di taman waktu itu. Aku tidak menghubunginya sama
sekali.
Dan
sekali itu pikiranku benar. Gana menelponku.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Kamu
ada masalah ya? Hayo ngaku?”
“Pede banget kamu? Hahaha. Nggak kok. Jangan sok tau deh.” Aku hanya mencoba untuk tertawa.
“Pede banget kamu? Hahaha. Nggak kok. Jangan sok tau deh.” Aku hanya mencoba untuk tertawa.
“Aku
tahu, kamu ada masalah sama Arfan kan?” Deg. Tahu rasanya tiba tiba
inget ada yang hilang? Ya itu rasanya.
“Hah?
Kata siapa kamu? Nggak ada apa apa tuh. Serius” Aku berusaha
mengalihkan pembicaraan.
“Aku
tahu kok. Nggak usah bohong Danah. Aku tahu. Arfan juga sudah
mengatakannya padaku. Jadi, aku ingin mengatakan ini.” ingin
rasanya saat itu juga aku menangis. Tapi entahlah. Sudah cukup. Aku
lupa bagaimana rasanya menangis.
“Danah,
pasti selama ini aku memiliki kekurangan dalam mendampingimu. Aku
tahu dan sadar itu. Kau tak perlu memaksakan dirimu untuk bertahan
denganku. Aku tidak pernah menginginkanmu ada di sampingku kalau kau
terpaksa. Aku menghargaimu.” seketika itu juga air mataku tumpah.
Akhirnya. Lagi.
“Aku
tahu kau pasti menangis sekarang. Keluarlah, aku ada di depan
rumahmu.” tidak ada waktu lagi. Aku langsung keluar dan melihatnya
di depan. Orang tuaku yang duduk di ruang TV pasti heran melihatku
seperti ini. Aku tak sempat melihat mereka. Akan kujelaskan pada
mereka ini nanti.
“Anak
bodoh, kamu ngapain? Nangis? Cemen ih.” Dia tertawa. Aku hanya
sanggup tertawa dalam tangisku. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan.
Ini benar benar. Ah, aku tidak tahu.
“Ingatlah,
kapanpun dan apapun yang kamu rasakan. Pikirlah dulu baik baik.
Bagaimana akibatnya bagi perasaanmu dan hatimu. Bagaimana akibatnya
terhadap hidupmu. Jangan pikirkan perasaan siapa siapa.”
“Bagaimana
kamu bisa menyuruhku berbuat seegois itu?”
“Karena
kamu sudah terlalu lama hidup memikirkan orang lain. Tidak ingat ya?
Bagaimana kamu rela tergesa gesa mengerjakan tugasmu yang deadline
minus 4 jam? Hanya demi membantu teman kecilmu yang sedang kekusahan?
Sekali ini sajalah paling tidak. Pikirkan dirimu sendiri.”
Gana
benar, tapi aku tidak bisa bertindak seegois itu. Aku mampu, tapi aku
tidak mau.
Hari
ini hari wisuda! Bahagianya. Semuanya sudah selesai. Tapi tidak total
selesai. Aku harus memulai sesuatu yang baru setelah ini. Tentunya,
membaktikan diriku dalam hidup bermasyarakat. Membantu sesama.
Melakukan yang aku bisa. Impianku sebagai Dokter akhirnya terwujud
juga.
Ayah,
Ibu, Adik, semua saudara dan temanku mengucapkan selamat. Aku merasa
amat sangat bahagia sekali. Tentu saja, setelah selama ini.
Akhirnya...
Ahh,
harapan tercapai, tapi ada yang hilang. Aku tidak mendapatkan satupun
dari kedua orang ini. Bukan karena mereka yang meninggalkanku. Tapi
aku yang memutuskan. Aku memutuskan untuk sendiri dan tidak melukai
hati siapapun. Karena aku ingin berdamai. Berdamai dengan semuanya.
Arfan,
pada akhirnya kamu juga tidak memilih siapa siapa. Meskipun kamu
menungguku, aku tidak bisa memberi harapan. Karena aku masih belum
memilih.
Gana,
terima kasih atas semua pelajaran hidup dan kesempatan berharga
menjadi pendampingmu. Menjadikan sebuah kenangan indah yang tidak
berhenti aku syukuri. Pada akhirnya nanti harus ada yang
mendampingimu lebih baik dari aku.
Aku
tidak menghilang, tapi aku memilih untuk tidak memilih
~ 0 komentar: ~
~ Posting Komentar ~